Mozaik Kritik Sastra (Esai-esai Bandung Mawardi)
Mozaik Kritik Sastra (Esai-esai Bandung Mawardi)
Oleh : Munawir Aziz*
Judul
Buku : Sastra Bergelimang Makna
Penulis
: Bandung Mawardi
Penerbit :
Jagat Abjad Solo
Cetakan :
I, 2010
Tebal :
176 halaman
Harga :
Rp. 30.000,-
Produktifitas sastrawan
Indonesia masih menyisakan tanya berupa lemahnya tradisi kritik sastra.
Melimpahnya karya sastra Indonesia dengan publikasi puisi, cerpen, novel,
maupun (skenario) drama tak diimbangi dengan ulasan yang menampilkan kritik
dengan kecerdikan serta ketekunan. Pasca wafatnya HB. Jassin, kritik sastra
Indonesia seolah terpendam dalam kubur.
Tak banyak penulis yang tekun untuk
menyelami, mengulas, hingga memberikan kritik bagi karya sastra di negeri ini.
Matinya tradisi kritik
sastra, disinyalir menjadi titik kemunduran bagi kualitas karya sastra negeri
ini. Produktifitas karya seolah tanpa filter, maupun standar mutu ataupun
komparasi kualitas. Karya sastra terus bermunculan dengan tarikan magnet pasar
yang menjanjikan selebritas dan godaan kuantitas. Maka, mutu karya sastra
Indonesia menjadi tak terkendali. Godaan pasar lebih menjanjikan daripada
ketekunan untuk merawat proses estetis maupun etis untuk mencipta karya
monumental.
Publikasi karya sastra
pada beberapa dekade terakhir cenderung dikendalikan oleh kuasa pasar dan
kapital. Standar estetis maupun etis diabaikan dengan mengejar kepentingan
kuantitatif. Perayaan kepentingan kapital ini, hanya menyisakan ruang sunyi
bagi nafas kritik sastra dalam ruang publikasi dan persepsi pembaca di negeri
ini.
Kritikus sastra yang
tekun merawat naskah, menyelami, mengenali karya, lalu mencipta ulasan kritik
hanya menjadi kerja kreatif segelintir penulis. Ignas Kleden, Korrie Layun
Rampan, Hasif Amini dan beberapa penulis lain acapkali mempublikasikan kritik
sastra dengan pamrih menghidupkan denyut nadi sastra Indonesia.
Bandung Mawardi, melalui
buku ”Sastra Bergelimang Makna”, ingin menolak anggapan matinya kritik sastra.
Tujuh esai panjang dalam buku ini menjadi pembuktian bahwa kritik sastra belum
mati dengan ketekunan menggarap pokok dan tokoh dalam sastra Indonesia.
Esai-esai panjang dalam buku ini merupakan bukti kesanggupan mengenali,
menyelami dan melontarkan kritik dengan kesuntuk untuk membingkai
serpihan-serpihan mutu. Ulasan panjang dalam buku ini ingin menelisik tema,
struktur, tokoh dan sumbangan karya sastra bagi pembaca dalam mencipta alur
penjelasan dan penjelasan—oleh Riceour sebagai lingkaran hermeneutis.
Ketekunan narasi
Di buku ini, Mawardi
menawarkan perspektif, ketekunan dan kejelian untuk melihat celah dalam
limpahan produksi karya dari beberapa pengarang: Joko Pinurbo (Jokpin),
Yudhistira ANM Massardi, Kuntowijoyo, Oka Rusmini, Remy Silado, dan Sindhunata.
Mawardi juga suntuk menggarap tema rumah dan ibu dalam narasi luas karya sastra
Indonesia.
Mawardi mengulas Jokpin
dengan komparasi puisi humor tragis dan politis pada sajak Yudhistira ANM
Massardi. ”Joko Pinurbo patut dibicarakan sebagai penyair penting yang mungkin
bisa diletakkan dalam wacana pasca-Afrizal Malna. Perbedaan puisi Jokpin denga
tradisi puisi lirik adalah penggunaan anasir naratif untuk menyampaikan
penghayatan hidup tanpa kehilangan pesonanya sebagai dunia rekaan yang
prismatis. Kontras yang terlihat dari Jokpin adalah dua kecenderungan besar:
kisah puisi dan fragmen (aforisma). Humor tragis terus terasa dengan derajat
dan intensitas yang berbeda” (hal. 48).
Sindhunata dalam
anggapan Mawardi layak ditempatkan dalam posisi istemewa dalam deretan
sastrawan negeri. ”Penerbitan novel Putri Cinamungkin puncak dari
ketekunan Sindhunata dalam membuat dialog dengan pelbagai orang dan lukisan
secara tematik. Novel Putri Cinamemang tampak sebagai rangkuman
dari perjalanan panjang proses kreatif Sindhunata. Rangkuman itu mengandung
pengertian ruang kisah dari pelbagai fragmen dalam jalinan refleksi historis
dan filosofis. Sindhunata dengan novel Putri Cina seperti
mengajukan nostalgia dan utopia untuk Jawa dan Indonesia” (hal. 111). Ketekunan
membaca dan merefleksikan proses kreatif Sindhunata mencipta ekspresi kritis
bagi Bandung Mawardi untuk memposisikan karya sastra.
Melalui buku ini,
Mawardi juga mengulas Kerigma dan Martyria garapan Remy Silado
(Yoppie Tambayong). Remy Silado selama ini dikenal sebagai seniman multitalenta
dengan kreatifitas dan produktifitas. ”Remy Silado: pesyair mbeling dan bening.
Tokoh ini pernah mencatatkan diri sebagai ikon dalam gerakan puisi mbeling pada
tahun 1970-an. Remy Silado seperti nabi atau juru bicara perlawanan estetika
puisi dalam kuasa lirik dan monopoli kaum tua. Perlawanan dengan gairah
estetika mbeling mengantarkan Remy Silado pada pergulatan ”manunggalingmbeling
dan bening” (hal. 127).
Mawardi sampai pada
kesimpulan menempatkan Remy Silado sebagai icon pesyair mbeling dan bening,
dengan ulasan panjang dan ketekunan untuk menyimak proses kreatif pengarang dan
menziarahi karya. ”Remy Silado telah menunaikan misi pelayanan dengan setumpuk
puisi dalam buku Kerigma dan Martyria. Amalam untuk mewartakan
risalah religiositas ini menjali olah kembelingan dan kebeningan dalam estetika
puitik. Puisi telah dijadikan medium untuk penyadaran danrealisasi iman menuju
jalan keselamatan” (hal. 151).
Bandung Mawardi seolah
tak lelah menelisik makna dan kata yang terhampar luas dalam gelombang karya
sastrawan Indonesia. Ia telah memulai pekerjaan membangunkan kembali kritik
sastra Indonesia dari tidur panjang dengan pembuktikan publikasi buku ini.
Ijtihad ini menemui hambatan dan harapan untuk menyemai benih kritik sastra. Bandung
Mawardi, melalui buku ini, seolah ingin mengatakan: kritik sastra belum mati!
Munawir Aziz, esais dan
peneliti sastra.
Tidak ada komentar: